Pelayanan kesehatan barang public (public goods) atau barang swasta(private goods)?

Ketika krisis moneter mencapai puncaknya tahun 1998, Media massa memberitakan sejumlah penderita gagal ginjal memutuskan untuk berhenti cuci darah (hemodialisa) dikarenakan biaya untuk cuci darah melonjak tinggi. Diera desentralisasi ini ada kemungkinan bukan hanya penderita gagal ginjal yang tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan tapi juga warga miskin.
Pendeligasian kewenangan dan keuagan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah berimplikasi pada anggaran sector kesehatan, juga perecanaan pemerintah untuk menswastakan rumah sakit milik pemerintah dengan mengubah menjadi perusahaan jawatan.


Cobalah kita belajar dari pengalaman pemerintah RRC sebagaimana dilaporkan di NYtimes.com. sejak diberklakukakannya desentralisasi, diberhentikan subsidi pusat untuk pelayanan social seperti kesehatan dan pendidikan serta dilepaskanya pelayanan kesehatan pada mekanisme pasar, hamper selutuh penduduk pedesaan dan daerah miskin tidak mampu lagi menjangkau pelayanan kesehatan.
Menurut dr. Hasbullah Thabrany, MPH. DrPH barang public(public goods) adalah barang atau jasa yang pengadaanya atau pendanaanya dilakukan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat, untuk kepentingan bersama dan dimiliki bersama. Sedangkan barang swasta(private goods) adalah pendanaan atau pengadaanya dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil masyarakat untuk kepentingan sendiri dan dimiliki perorangan.
Upaya kuratif dan preventif dan promotif umumnya diaggap barang public(public Goods) sedangkan kuratif dan rehabilitatif dimasukkan sebgai barang swasta (private goods) akan tetapi pembagian ini masih diperdebatkan.
Kemudian pemerintah memberikan bantuan alokasi dana untuk pelayanan kesehatan warga miskin, tetapi juga belum tepat sasaran mengapa? Karna pada kenyataannya banyak warga yang justru tidak tersentuh oleh program ini dan sebalik nya malah banyak warga yang mampu tapi memiliki kartu warga Miskin.
Cobalah kita sejenak mengingat kembali kisah dina yang sudah sekarat malah ditanya surat miskin(kompas,28 februari 2004) dina dirawat karena demam berdarah dengue, ia tergoles lemas, bocah kecil itu menangis, dihidungnya terpasang selang oksigen. Sang ibu sibuk menenangkan bocah itu. Bocah yang sudah sudah sekarat itu terganjal pembayaran rumah sakit. Kemudian ia dirujuk, tapi begitu tiba di rumah sakit yang dihadapinya bukan dokter atau perawat yang segera menolong, namun pihak rumah sakit malah sibuk menanyai surat miskin, pengantar dari ketua RT, ketua RW, lurah sampai camat. Beruntunglah nyawa dina tertolong karena pinjaman uang dari para tetangganya.
Kalau menurut rekan- rekan gimana? Apakah memang pelayanan kesehatan harus di swastakan?


ads ads